Sunday, November 8, 2015

‘Sensor’ yang Salah Kaprah

Biasanya saya hanya menonton televisi di pagi hari dan malam menjelang tidur/jam istirahat, selain karena kesibukan, menurut saya siaran televisi di Indonesia ‘sedikit’ pilihannya, tapi bukan berati saya beralih ke saluran TV kabel saja he..he. Saya makin heran, di atas jam 21:00 terutama acara untuk orang dewasa, entah itu talk show, film dalam dan luar negeri, atau drama, makin banyak part atau bagian yang dihilangkan atau di-sensor. Awalnya saya anggap wajar bila adegan yang kurang pantas untuk di blure atau bahkan di cut.

Yang membuat saya makin tergelitik adalah ada adegan yang ‘biasa-biasa’ saja tapi ikut di-sensor. Lagi pula, di atas jam 21:00 memang bukan jam anak-anak lagi, yang menonton kebanyakan orang dewasa yang sudah bisa berfikir ketika memilih apa yang mereka ingin tonton. Yang saya maksud di sini adalah kenapa badan sensor hanya mengurusi masalah hal-hal yang nampaknya tidak terlalu urgen untuk dikoreksi. Padahal ada banyak ‘PR’ untuk badan lembaga sensor untuk mengkoreksi produk PH nasional yang sepertinya luput dari pantauan mereka.

Menurut saya, sensor tidak hanya berlaku untuk adegan yang kurang pantas, tapi harus juga berlaku untuk adegan-adegan yang dianggap biasa tapi berdampak negative pada penontonnya, terutama untuk acara anak-anak dan remaja jaman sekarang.

Sinetron yang tidak mendidik

Berbicara acara televisi Indonesia, tidaklah lepas dari penayangan sinetron stripping. Formula sinetron mulai tahun 2000an sepertinya sudah mulai mengalami pergeseran. Sinetron sekarang hanya menonjolkan hedonisme yang utopis, kesenjangan anatara si kaya dan si miskin, cantik dan tampan dll. Dan kesemuanya itu dikemas secara singkat dan ditayangan di televise setiap hari dengan durasi berjam-jam. Saya saja miris melihatnya, melihat anak-anak kecil bertingkah polah menirukan apa yang ada di sinetron. Hal ini benar-benar diperlukan pengawasan orang tua dalam memilih acara tv dan memberinya pemahaman yang baik.

Acara musik konten-nya gossip

Acara music pagi di tv akhir-akhir ini makin memprihatinkan. Bagian musiknya sedikit tapi gimik-gimik kehidupan pribadi bintang tamu atau hostnya jadi bahasan utama, dan games-nya tidak mendidik. Sangat disayangkan memang, saya sendiri dulu masih mengikuti perkembangan music Indonesia dari sana, tapi makin lama makin tidak jelas acara tersebut, bahkan sudah mirip acara gossip. Memamerkan kekayaan dan glamornya dunia artis. Ini hanya akan meninbulkan kesenjangan.

Yang sedang marak juga acara audisi penyanyi baru. Dengan durasi berjam-jam, ditayangkan secara live nasional, bagian nyanyinya sedikit tapi penjuriannya bisa hampir satu jam. Menunjukkan bully-an dari host ke juri, dan ini semua dianggap hanya guyonan, seolah-olah hal ini sudah menjadi hal yang biasa. Mirisnya lagi katanya mereka mendapat rating paling tinggi di jam primetime. Sungguh menyedihkan!

Acara berita dengan diksi yang tidak pantas

Hampir semua stasiun televisi swasta sekarang ini memiliki redaksi kusus berita. Hal ini sebenarnya menguntungkan kita dalam mecari opini lain. Tapi para editor rekasi berita juga harus jeli dalam membuat headline atau narasi sebuah berita. Baru-baru ini saya menyesalkan dipakainya kata ‘perselingkuhan’ yang diduga dilakukan oleh oknum anggota DPR. Apakah tidak ada diksi yang lebih halus? Bayangkan saja kalau anak-anak yang mendengar atau bagaimana perasaan si anak dan anggota keluarga orang yang sedang diduga dalam kasus ini.

Agaknya hal-hal semacam ini juga perlu kita koreksi. Ada juga oknum news anchor yang suka memojokkan narasumber ketika diwawancara, walaupun tujuannya untuk mendapatkan jawaban sejelas-jelasnya tapi hal ini menurut saya tidak patut dilakukan, tugasnya bertanya bukan seolah-olah mengintrogasi narasumber seperti polisi mengintrogasi tersangka.

Artis ‘karbitan’

Seiring banyak munculnya artis-artis baru yang bahkan saya saja tidak tahu apa karyanya membuat saya kadang bertanya, ini siapa? Ini apa?

Faktor yang paling berpengaruh di sini adalah tayangan infotainment. Opini yg dibentuk akan mempengaruhi penerimaan sang artis ke masyarakat. Tayangan kehidupan yang penuh dengan gemerlap dunia artis juga bisa menimulkan kesenjangan. Tidak sedikit juga yang tenar karena kasus. Ada artis baru yang muncul karena terbukti melakukan penipuan, masuk penjara, dan sekarang diberi panggung oleh PH atau stasiun TV. Hal ini sangatlah disayangkan, hanya karena mengejar rating sebuah rumah produksi mengangkat artis ‘karbitan’ dengan prestasi ‘kasus’ karena hanya ingin memuaskan keingintahuan penonton, tapi tidak berfikir dampak negatifnya. Seolah-olah kalau mau jadi artis buat saja kasus, biar diundang dari satu stasiun TV satu ke stasiun TV lain.

Sepertinya masyarakat Indonesia memang dipaksa menonton acara-acara yang kurang berkualitas. Mereka tidak diberi pilihan untuk melihat acara-acara yang dikemas dengan lebih baik. Semoga hal ini bisa menjadi renungan semua pihak.

0 comments:

Post a Comment