Sunday, April 29, 2018

Ambivert : Jatuh Cinta dan Patah Hati


Melanjutkan postingan saya sebelumnya tentang kepribadian Ambivert. Saya ingin bercerita tentang pengalaman pribadi saya ketika mengalami jatuh cinta dan patah hati. Saya banyak merenung dan berfikir ketika mengalami keduanya. Sempat menjadi kegelisahan di tengah-tengah hubungan, yang pada akhirnya membuat hubungan saya berakhir. Eits, tenang aja, saya nggak lagi galau koq, kejadiannya sudah cukup lama hi.hi.hi hal ini penting untuk saya, dan memang benar adanya, ketika kita hendak mencintai orang lain, kita harus mencintai (mengenali) diri kita dahulu.

Niat awal saya memang bukan pacaran, tapi menikah. Tapi jangan berfikir bahwa saya tipe yang nggak mau mengenal (calon) pasangan saya sama sekali. Singkat cerita saya bertemu dengan teman lama dan akhirnya 'jadian' istilah anak muda ( cie ilee ngerasa tua ha.ha ) karena tujuan kita memang untuk menikah. Dari awal hubungan, kami sepakat bahwa hubungan yang kami jalin ini komitmen  (bukan pacaran ala ABG mabok cinta) untuk menikah dengan cara saling mengenal lebih dalam satu sama lain dan menunggu saya selesai studi. Saya juga termasuk tipe yang kolot masalah pacaran, agar kita saling menjaga diri masing-masing gitu maksudnya, karena saya ada niat untuk pelan-pelan berhijrah, saya lebih suka menghabiskan waktu dengan ngobrol sambil makan, diskusi (sama pasangan) bertukar pikiran. (Woh kayaknya bosen banget ya yg jadi pasangan saya he.he.he)

Sebelum saya tahu bahwa saya ini punya kepribadian ambivert, entah kenapa awal saya jadian saya begitu bahagia menjalani hubungan jarak jauh alias LDR (Long Distance Relationship). Anehnya kebahagiaan yang saya rasakan itu bukan karena lagi jatuh cinta, tapi punya pacar tapi serasa single. Loh, koq bisa? Jadi gini temen-temen, seperti yang kita tahu bahwa ambivert itu gabungan sifat Introvert dan Ekstrovert, nah ketika sisi introvert saya 'keluar' dan saya butuh 'me time' walaupun punya pacar (saat itu) saya tidak ada 'kewajiban' bertemu dengan frekuensi yang sering, jadi saya merasa tetap bisa berkegiatan seperti biasa tanpa memberi jadwal tambahan yang mungkin akan mengubah jadwal harian saya. Cukup hanya meluangkan waktu untuk berbalas pesan atau telpon saling mengabari. 

Di awal-awal hubungan, saya dibilang cuek banget, karena saya juga bukan tipe yang 'apa - apa' harus lapor. Ketika pagi saya bilang ke kampus, dan biasanya bisa berlangsung seharian ya saya konsentrasi dengan kegiatan saya di kampus. Paling-paling jam makan siang/ waktu sholat  sesekali berkirim pesan. Masalah mulai timbul ketika hubungan berjalan hampir sebulan, karena sikap saya tidak berubah untuk lebih intens berkomunikasi saat berkegiatan (mungkin pasangan saya berfikir kalau saya ini tidak sayang atau tidak butuh). Padahal di jam istirahat di malam hari saya meluangkan waktu untuk telpon, ngobrol, bahkan berdiskusi. Point yang saya ingin tunjukkan di sini adalah ketika si ambivert ini sedang melakukan aktifitasnya, bisa kuliah/kerja, jangan 'mengganggunya' dengan pesan-pesan singkat yang sebenarnya tidak perlu untuk dibalas, kasarnya jangan 'merengek' ngajak ngobrol yang nggak penting. Karena pada waktu itu saya merasa dicurigai sedang melakukan aktifitas yang sekiranya membuat pasangan marah. Misalnya, pergi dengan cowok lain atau sedang berinteraksi dengan lawan jenis. Padahal saya seharian capek di kampus untuk kuliah atau mengerjakan tesis di perpustakaan. Hal ini mengganggu saya, mengganggu kegiatan saya yang harus menjelaskan sesuatu yang sebenarnya (buat saya) nggak perlu dijelaskan. Karena pasangan seperti tidak percaya dengan saya.

Okey lah saya memakluminya, karena saya percaya ini adalah proses kami saling mengenal satu sama lain. Tapi, lama-kelamaan di bulan kedua, saya mulai bosan harus menjelaskan kesalahpahaman yang terus berulang, bahkan waktu istirahat saya juga berkurang karena setiap kita berdebat bisa bisa berjam-jam ditelfon. Saya mulai merasa terbebani dengan hubungan saya ini. Orang lain sepertinya bahagia punya pasangan dan menghabiskan waktu bersama, tapi tidak dengan yang saya alami. Tapi saya tetap bertahan untuk memahaminya karena ini juga komitmen saya. Point kedua yang ingin saya tunjukkan adalah ketika saya kehilangan waktu untuk diri saya sendiri, saya gampang merasa capek, terutama psikis saya. Dan puncaknya di akhir bulan ke tiga, kami memutuskan berpisah. Di saat-saat berakhirnya hubungan saya, saya jusru merasa bahagia (maaf ya buat mantan, bukan bermaksud jahat tp emang jahat kali yah aku hehe) saya merasa bebas, lepas, dan ringan dalam melangkah. Seolah beban saya lepas. Mungkin, saya terlihat seperti orang yang 'tidak jatuh cinta' karena saya lebih suka mengekspresikan rasa yang saya miliki ketimbang harus bilang cinta atau sayang. Di sisi lain saya tidak menyalahkan mantan saya koq, justru banyak sekali pelajaran yang saya ambil dari dia. Saya jadi banyak merenung, bahkan saya merasa -apakah saya ini normal dengan bersikap seperti itu?- sampai saya juga bertanya pada sepupu saya anak psikologi, dan akhirnya saya melakukan ters kepribadian. Dan saya mendapati bahwa kecenderungan sifat saya ini termasuk kepribadian ambivert.

Mengutip dari beberapa point dari IDN Times dan pengalaman saya, ada beberapa hal yang juga ingin saya tunjukkan bahwa si ambivert ini punya sifat unik dalam hubungan.

1. Kamu harus tahu kapan dia menjadi introvert dan kapan dia menjadi ekstrovert.
Ketika kami sedang bersama, saya bisa bicara banyak, baik bertemu langsung/ telpon. Tapi ketika saya diam (tidak bicara/telpon) jangan diartikan bahwa saya marah, nggak sayang/cinta atau cuek hanya gara-gara membalas pesan terlambat. Mungkin saat itu sifat introvert kami(para ambivert) sedang keluar. Jadi jangan buru-buru curiga bahwa kita sedang sibuk dengan yang lain (lawan jenis) karena Ambivert bisa bergaul dengan baik, tapi kadang butuh sendiri.

2. Ambivert punya emosional bilingual, jadi kadang dia juga lihai membaca emosi orang lain. 
Bukan hanya emosinya sendiri, ambivert ini pintar membaca emosi orang lain termasuk kamu. Dari gerak-gerik, tatapan mata, perkataan atau juga caramu menghela nafas. Dia tahu emosi seperti apa yang kamu rasakan, bisa dibilang, ambivert ini sangat peka. Kadang, saya merasa satu langkah di depan pasangan dalam arti, saya bisa membaca pikirannya (weits, saya bukan cenayang lho yaa hihihi). Jadi ketika saya ingin menolak/meng-iya-kan permintaanya (dalam arti luas) saya bisa memberikan jawaban alternatif. Jadi ketika ingin menolakpun, dia tidak tersinggung.

3. Dia bisa menjadi pencerita yang nggak pernah membuat kamu bosan, sekaligus pendengar yang sangat baik saat kamu membutuhkan.
Pada dasarnya, manusia suka didengarkan. Tapi, untuk memahami seseorang, kita juga harus belajar mendengarkan. Artinya, porsi berbicara dan mendengar harus seimbang. Seorang yang introvert hanya akan berbicara jika memang dia ingin berbicara, kadang kejujurannya dalam mengungkapkan pendapat terdengar kejam, kebanyakan dari mereka tidak suka berputar-putar dalam berbicara. Tapi ketika dia sedang ingin mendengarkan, dia akan menjadi pendengar yang baik dan memberikan saran yang kamu butuhkan.

4. Terbiasa mengalah
Ambivert akan terbiasa untuk bersikap sesuai dengan situasi yang ada. Cukup pandai membawa diri dengan baik sehingga pasangan kamu jarang mengalami kekecewaan ketika bersama kamu. Sikap ini sebenarnya sikap negatif/ kurang menguntungkan untuk si ambivert, terkadang kami menahan hanya untuk menghindari 'berdebatan' yang melelahkan padahal tidak baik-baik saya.

5. Sering dibilang PHP - Pemberi Harapan Palsu

Ambivert memiliki sifat yang terbuka dan berbaur dengan siapa saja, maka tidak heran jika ada beberapa lawan jenis yang menginterpretasikan bentuk perhatian kamu sebagai perhatian lebih dari sekedar teman. Padahal kamu hanya berniat untuk sekedar menghargai dan berbuat baik saja. Hal ini sering terjadi, bahkan saya menyebutnya sangat sering terjadi. Padahal saya berusaha merespon dengan sopan, tanpa punya maksud tertentu, tapi tetap saya menimbulkan kesalah pahaman.
Pada titik ini, saya bersyukur dan berterimakasih. Ketika saya jatuh cinta maupun patah hati, saya jadi bisa mengenal diri saya sendiri, saya mengangap ini hikmah. Kelak kedepannya mungkin hal ini akan membantu saya untuk bisa mempersiapkan diri untuk menjalani hubungan yang baru.

Terimakasih ^^

0 comments:

Post a Comment