Dini hari yang cukup dingin selepas subuh, saya bersiap berangkat ke Yogyakarta. Seperti tiga tahun terakhir ini, ya, perjalanan seorang diri sudah tidak asing bagi saya.
Mungkin karena hujan semalam, aroma tanah basah masih tercium dan pagi ini udara jadi bertambah dingin dari biasanya. Terlihat, masih banyak genangan air di mana-mana, langitpun masih sedikit murung, pertanda mendung. Padahal matahari tak pernah terlambat datang. Tidak terlihat bukan berarti tidak ada kan!
Saya bergegas menyusuri jalan kecil menuju terminal lama kota ini, terlihat sudah ada beberapa orang berkerumun untuk segera naik bus tujuan masing-masing. Ada yang memang akan bepergian jarak jauh, ada yang hanya turun di tujuan di kota-kota yang akan dilewati bus tujuan terakhirku. Banyak diantaranya para pekerja di ibukota provinsi yang bisa naik dengan membayar sepertiga dari harga tiket bus antar kota atau antar provinsi.
Tiket sudah di tangan, jadi saya tak perlu khawatir tidak kebagian tempat duduk. Sebisa mungkin saya selalu ingin duduk di depan, tepat di belakang sopir. Setidaknya saya bisa melihat kondisi jalan untuk membunuh kebosanan. Pasalnya, selama empat tahun ketika merantau ke Surabaya, saya selalu melakukan perjalanan malam menggunakan jasa travel dan nyaris tidak tidur. Sebenarnya, jalan membuat saya jenuh karena selalu sama. Yang membuat mereka berbeda adalah siapa yang akan kita temui selama kita ada diperjalanan.
Melihat armada bus yang akan membawa saya ke Yogyakarta datang, saya bersiap antre untuk memasukkan barang-barang yang tidak banyak ini ke bagasi. Wajah-wajah yang tak asing pun muncul, baik supir atau kondektur karena seringnya saya naik bus ini.
Sayapun segera duduk sesuai dengan nomor kursi, saya pilih sisi dekat jendela karena orang yang akan duduk di samping saya masih belum tiba.
Jelang menit-menit terakhir sebelum bus hendak berangkat, kursi di samping masih kosong, saya pikir si empunya akan ketinggalan bus dan ternyata benar. Tapi, kursi kosong itu segera diduduki si empunya yang baru. Seorang penumpang yang ketinggalan bus tujuan Cirebon dan hendak mengejarnya sesampainya di Semarang. Terlihat seorang yang usianya cukup sepuh, tinggi dan kulitnya cukup putih mengenakan topi dan berkaca mata datang dan duduk di samping saya.
Keheningat sejenak pecah saat saya memutar arah penutup AC yang ada di atas saya. Beliau tiba-tiba bertanya,"Kamu kedinginan?", saya jawab cepat, 'Nggak bapak, saya arahkan ke jendela supaya tidak langsung mengenai saya'.
Berawal dari situ kemudian kami ngobrol, dari bertanya nama sampai tujuan saya, sambil si bapak menawarkan permen untuk saya, mau nolak tapi enggak enak, takut juga karena beliau tetaplah orang asing. Waspada tetaplah perlu!
Tapi, saya kaget waktu si bapak menangkap keraguan di wajah saya, beliau bilang:
'Jangan takut, ini cuma permen biasa koq! Permen merk Davos, khas permen 'orang tua', tau kan gimana pedasnya permen ini hihihi. Beliau bilang,'Saya juga muslim koq, jangan takut!' sambungnya. Bahkan beliau juga tawarkan permen itu ke supir bus yang sedang batuk-batuk.
Singkat cerita, obrolan kami menjadi hangat. Mungkin karena beliau sudah seumuran dengan kakek saya jika masih ada. Dengan aksen bahasa Indonesia yang santai dicampur beberapa istilah bahas Inggris (yang sepertinya biasa bapak gunakan sehari-hari) Seperti seorang cucu, saya diberi nasihat. Melalui cerita saya, beliau tahu bahwa saya punya cita-cita untuk kembali ke kota kelahiran saya, salah satunya karena ingin menjaga kedua orang tua saya. Beliau pun mendoakan saya supaya apa yang saya inginkan tercapai, apalagi kalau niatnya untuk orang tua insyaAllah dimudahkan, akupun meng-Aamiin-ni.
Beliau juga sempat bertanya,'Apa sih yang ada di dalam perut kita?', saya jawab,'Kotoran!', 'Nah! sambung beliau, sebagai manusia kita itu tidak ada apa-apanya, bahkan kemana-mana bawa kotoran dalam perut kita, jadi apa yang bisa kita sombongkan.
Si bapak yang tujuannya ke Semarang harus segera turun, karena transit, beliau akan ke Cirebon dan melanjutkan perjalannya 'ke luar'. Beliau sempat menanyakan nomor HP saya, dan memang saya sempat ragu, tapi sekali lagi bapak bilang hanya untuk silaturahim. Bahkan si bapak sempat meyakinkan diri bahwa yang saya berikan memang nomor HP saya.
Sebelum benar-benar berpisah di terminal, saya menanyakan nama beliau. 'Kamu tahu, siapa nama Nabi kita?', 'Muhammad', beliau menjawab, 'Iya, itu nama saya!', dan kamipun berpisah.
Keheningat sejenak pecah saat saya memutar arah penutup AC yang ada di atas saya. Beliau tiba-tiba bertanya,"Kamu kedinginan?", saya jawab cepat, 'Nggak bapak, saya arahkan ke jendela supaya tidak langsung mengenai saya'.
Berawal dari situ kemudian kami ngobrol, dari bertanya nama sampai tujuan saya, sambil si bapak menawarkan permen untuk saya, mau nolak tapi enggak enak, takut juga karena beliau tetaplah orang asing. Waspada tetaplah perlu!
Tapi, saya kaget waktu si bapak menangkap keraguan di wajah saya, beliau bilang:
'Jangan takut, ini cuma permen biasa koq! Permen merk Davos, khas permen 'orang tua', tau kan gimana pedasnya permen ini hihihi. Beliau bilang,'Saya juga muslim koq, jangan takut!' sambungnya. Bahkan beliau juga tawarkan permen itu ke supir bus yang sedang batuk-batuk.
Singkat cerita, obrolan kami menjadi hangat. Mungkin karena beliau sudah seumuran dengan kakek saya jika masih ada. Dengan aksen bahasa Indonesia yang santai dicampur beberapa istilah bahas Inggris (yang sepertinya biasa bapak gunakan sehari-hari) Seperti seorang cucu, saya diberi nasihat. Melalui cerita saya, beliau tahu bahwa saya punya cita-cita untuk kembali ke kota kelahiran saya, salah satunya karena ingin menjaga kedua orang tua saya. Beliau pun mendoakan saya supaya apa yang saya inginkan tercapai, apalagi kalau niatnya untuk orang tua insyaAllah dimudahkan, akupun meng-Aamiin-ni.
Beliau juga sempat bertanya,'Apa sih yang ada di dalam perut kita?', saya jawab,'Kotoran!', 'Nah! sambung beliau, sebagai manusia kita itu tidak ada apa-apanya, bahkan kemana-mana bawa kotoran dalam perut kita, jadi apa yang bisa kita sombongkan.
Si bapak yang tujuannya ke Semarang harus segera turun, karena transit, beliau akan ke Cirebon dan melanjutkan perjalannya 'ke luar'. Beliau sempat menanyakan nomor HP saya, dan memang saya sempat ragu, tapi sekali lagi bapak bilang hanya untuk silaturahim. Bahkan si bapak sempat meyakinkan diri bahwa yang saya berikan memang nomor HP saya.
Sebelum benar-benar berpisah di terminal, saya menanyakan nama beliau. 'Kamu tahu, siapa nama Nabi kita?', 'Muhammad', beliau menjawab, 'Iya, itu nama saya!', dan kamipun berpisah.
****
Seminggu kemudian, saya menerima panggilan telpon dengan kode negara yang tak biasa +966. Ternyata, pak Muh sedang berada di Jeddah, Saudi Arabia. Beliau menanyakan kabar dan mendokan saya lewat telephon singkatnya, bahkan menitipkan salam kepada keluarga saya serta doa tidak lupa dia ucapkan.
Melalui teponnya beliau bercerita bahwa memang tinggal di Jeddah, dan hendak menunaikan ibadah Haji yang entah untuk yang ke berapa kali. Beliau juga selalu berkata bahwa mendoakan saya dan keluarga, serta tak lupa mengingatkan untuk selalu shalat di awal waktu dan rajin shalat tahajjud.
Kata beliau,'Endis itu anak baik, karena ingin menjaga orang tua' dalam hati saya malu semalu-malunya. Saya nampak baik di mata beliau karena Allah pada saat itu sedang menutupi aib-aib dan dosa-dosa saya!
Saya masih menerima telpon dari beliau beberapa kali. Jelang Ramadhan dan di hari Idul Fitri. Panggilan terakhir saya lakukan pada saat terjadi badai di Mekkah yang merobohkan crane di sekitar Ka'bah. Alhamdulillah, beliau tidak terdampak, karena siangnya beliau sempat telpon seusai melakukan towaf saat umrah.
Wallahualam bissawab, beliau orang asli Kudus tapi bermukim di Jeddah karena pekerjaan. Kami lost-contact. Dan saya hanya ingin ber-khusnudzon saja, tidak lebih. Saya hanya mencoba mengambil hikmah. Ketika iman saya sedang lemah, selalu saja ada yang mengingatkan, yang saya yakini, itu salah satu cara manis Allah menegur kita.